Jumat, 07 Agustus 2015

DI Belanda, salah satu negeri terkaya di dunia dengan pendapatan perkapita mencapai 22.570 euro, mobil dinas menterinya cuma mobil bekas!



Bismillaah..


Misalnya saja pada tahhun 2005, mobil dinas yang dipakai Minister van Volkshuisvesting, Ruimtelijke Ordeningen Milieubeheer (Menteri Urusan Perumahan Rakyat, Tata Ruang, dan Pengelolaan Lingkungan), Jan Pronk (dulu menteri Kerjasama Pembangunan) adalah mobil bekas (tweedehand) dari menteri pendahulunya, Margreet de Boer.
Pengertian mobil dinas di Belanda begitu masa jabatan selesai harus dikembalikan kepada negara, sehingga Mercedes E230 terus dipakai oleh menteri berikutnya. Tanpa negara harus merogoh brankas untuk membeli mobil baru.
Untuk mobil yang benar-benar sudah tak layak pakai, barulah diadakan mobil baru. Jenisnya terserah, sesuai selera para menteri. Namun negara membatasi bahwa harga mobil itu tidak boleh melebihi 44,54 sen euro per km x usia mesin. Jika usia mesin rata-rata 200.000 km, maka harga untuk mobil dinas menteri Belanda itu maksimal 89.080 euro.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak dulu, gedung DPR RI Senayan bagai showroom mobil mewah. Padahal di Belanda, anggota parlemen tidak mendapat gaji dan tunjangan mobil. Mereka hanya mendapat schadeloosstelling (ganti rugi) dan tunjangan yang pas-pas-pasan.
“Jatah mobil dinas?” demikian reaksi pertama Hugo van der Steenhoven, anggota partai Groenlinks, saat ditanya soal ‘sarana mobilitas untuk menunjang tugas wakil rakyat’ itu. “Ah, laat me niet lachen, meneer (Jangan membuat saya tertawa, pak.),” kata Van der Steenhoven.
Dijelaskan bahwa anggota parlemen Belanda itu bukan pegawai negara. Jadi jangankan mobil dinas, gaji (salaries) pun tidak ada.
Istilah salaries menunjukkan bahwa anggota parlemen berdinas pada pihak tertentu. Sebagai imbalan jerih payah, anggota parlemen menerima apa yang disebut schadeloosstelling alias ganti rugi.
“Anggota parlemen sepatutnya kan independen dan oleh karena itu dia tidak berdinas pada pihak manapun,” jelasnya.
Jadi, untuk urusan mobil ke Gedung Parlemen di Binnenhof (Den Haag) yang nyata-nyata demi kepentingan negara itu menjadi tanggung jawab masing-masing anggota parlemen.
Apalagi ‘mobilitas untuk merawat konstituen’, itu bukan menjadi tanggung jawab dan beban negara, melainkan partai dari mana mereka berasal. Di Belanda, logika yang dipakai simpel saja: urusan menemui konstituen adalah kepentingan partai, masak negara yang harus menanggung biayanya?
Negara hanya menyediakan uang ganti transport untuk kepentingan tugas anggota parlemen, besarnya 781,36 euro untuk yang bertempat tinggal dalam radius 10-15 kilometer dari Kompleks Parlemen Binnenhof (Den Haag), 1.093,63 euro untuk radius 15-20 kilometer, dan 1.562,72 euro untuk radius lebih dari 20 kilometer.
Jumlah tersebut semuanya bruto untuk satu tahun. Untuk yang bertempat tinggal dalam radius 10 kilometer ke bawah, tidak masuk dalam ketentuan tersebut alias tidak mendapat apa-apa.
Makanya banyak anggota parlemen yang ngantor dengan naik trem, sejenis angkutan umum kota mirip kereta api tapi bentuknya lebih kecil. Jan Pronk, kini Minister van Volkshuisvesting, Ruimtelijke Ordening en Milieubeheer (Menteri Urusan Perumahan Rakyat, Tata Ruang, dan Pengelolaan Lingkungan), malah sering datang naik sepeda.
Demikian hati-hati dan ketatnya Belanda mengelola keuangan negara, sehingga pada tahun 2001 neraca keuangan negara surplus sampai 7 milyar gulden (mata uang euro belum diberlakukan). Kelebihan tersebut sebagian dikembalikan kepada rakyat sebagai uang surprised di mana setiap rumah tangga mendapat 100 gulden atau setara 100 kg gula. Sebagiannya lagi dipakai untuk pembayaran utang negara, agar secepatnya berkurang.
Bila Anda berkesempatan berkunjung ke Belanda, tidak ada salahnya singgah sebentar ke kompleks parlemen Binnenhof, di jantung kota Den Haag. Sekalian melakukan ‘studi banding’ dan setidak-tidaknya Anda akan menyaksikan bahwa di halaman gedung parlemen negeri yang berpenghasilan 22.570 euro per kapita itu, tidak ditemukan mobil sekelas Jaguar dan sejenisnya.
Nah, bagaimana dengan parlemen kita?Wallaahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar