Jumat, 09 Oktober 2015

#~ WANITA SY'IAH YANG MALANG (Kisah Nyata Dari Kota Bandung) ~#


Untuk yang kedua kalinya wanita (WS) itu pergi ke tempat praktek Dokter Hanung (DH), seorang Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di kota Bandung. Sore itu, ia datang sambil membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa minggu, dia (WS) mengeluh merasa sakit pada waktu membuang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari kemaluannya (vagina discharge).
.
Sore itu, suasana ditempat praktek dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka di kakinya, sepertinya anak kecil tersebut menderita Pioderma. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal dan di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan jerawat (acnevulgaris) yang ia alami.
.
Ketika wanita itu datang, ia (WS) mendapatkan nomor urutan terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat, sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia (WS) memasuki kamar periksa Dokter Hanung, kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih dan sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruangan, sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
.
Sejenak Dokter Hanung menatap pada pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese), Dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil, ada rasa tidak percaya terhadap hasil laboratarium itu. Bagaimana mungkin seorang wanita yang berjilbab, yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena akan penyakit itu, penyakit yang hanya menimpa orang yang sering berganti-ganti pasangan seksual.
.
Dengan wajah tenang, Dokter Hanung melakukan wawancara (anamsese) lagi secara cermat.
#
DH : “Saudari masih kuliah ... ?”
WS : “Masih, Dok.”
DH : “Sudah semester berapa ... ?”
WS : “Semester tujuh, Dok.”
DH : “Fakultasnya ... ?”
WS : “Sospol (sosial politik).”
DH : “Jurusan komunikasi massa ya ... ?”
.
Kali ini, ganti pasien terakir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap Dokter Hanung dari balik cadarnya.
#
WS : “Kok, dokter tahu ... ?”
DH : “Aah, ... tidak. Hanya barangkali saja !.”
.
Pembicaraan antara Dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu, akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
#
DH : “Saudari memang penduduk asli Bandung ini atau dari luar kota ... ?”
.
Pasien terkahirnya itu, tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan Dokter Hanung yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis. Dengan perasaan agak sedikti jengkel wanita itu menjawab.
#
WS : “Ada apa sih Dok, Kok tanyanya macam-macam ... ?”
DH : “Aah nggak ..., barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita !.”
.
Pasien terakhir itu tampaknya semakin jengkel dengan jawaban-jawaban Dokter Hanung, yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:
#
WS : “Saya berasal dari Pekalongan.”
DH : “Kost-nya ... ?”
WS : “Wisma Fathimah, Jalan Alex Kawilarang 63.”
DH : “Apa di kampus saudari, saudari sering mengikuti kajian-kajian Islam ... ?”
WS : “Yaa ... kadang-kadang Dok !.”
DH : “Sering mengikuti kajian-kajian Kang Jalal ... ?”
.
Sekali lagi pasien wanita itu menatap Dokter Hanung.
#
WS : “Kang Jalal siapa yang Dokter maksudkan ... ?” Tanyanya dengan nada agak tinggi.
DH : “Tentu saja Jalaluddin Rakhmat. Di Bandung, siapa lagi Kang Jalal kalau bukan di. Kalau di Yogyakarta ada Kang Jalal Mukhsin.”
WS : “Ya ... kadang-kadang saja saya ikut, dok.”
DH : “Di Pekalongan ... (sambil seperti mengingat-ingat), apa saudari kenal juga dengan Ahmad Baraqba ... ?”
.
Pasien wanita terakhir ini tampak terkejut dengan pertanyaan dokter tersebut, tetapi dia segera menjawab
#
WS : “Tidak, Dok. Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya ... ?!”
.
Pasien wanita terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter, yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru, Dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya ini. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan, Dokter Hanung berkata,
#
DH : “Begini saudari. Sebelumnya saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita ini.”
.
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan Dokter Hanung. Kali ini, dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dokter yang akan memeriksanya.
#
DH : “Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini.”
WS : “Sakit apa saya, Dok ... ?”
.
Pasien terakhir itu memotong kalimat Dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.
#
DH : “Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium yang saudari berikan, semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang disebabkan dari hubungan seksual.”
.
Seperti disambar petir, perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, terkejut dan berteriak.
#
WS : “Tidak mungkin !!!.”
.
Dia lantas terduduk lemas seakan tak berdaya, setelah mendengar keterangan Dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
.
Sementara itu, para pembantu Dokter Hanung yang biasa menerima pendaftaran pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya Dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir, sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian ia terkejut mendengar jeritan pasien terakhir itu, sehingga ia merasa ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
.
Dokter Hanung dengan pengalaman prakteknya sekian tahun, tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu, kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama, dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa KAWIN MUT'AH. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah Rafidhah yang ada di Bandung. Dari hasil pengalaman itu, timbul di dalam pikirannya Dokter Hanung untuk menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah Rafidhah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini, dan juga kebetulan dia mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah Rafidhah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada di depannya sore itu.
#
DH : “Bagaimana saudari, penyakit yang anda derita ini tidak dijangkiti kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari, baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh. Bertaubatlah kepada Allaah 'azza wa jalla, atau mungkin ada kemungkinan lain ... ?”
.
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
#
WS : “Sa ... Sa ... Saya, tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !”, jawabnya dengan terbata-bata.
DH : “Terserah saudari. Tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan saat ini ... ?”
WS : “Tetapi Dok, bagaimana mungkin saya mengidap penyakit laknat tersebut ... ? Sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allaah ... ?”
DH : “Saya pun berprasangka baik demikian terhadap diri saudari. Tetapi kenyataan yang anda hadapi saat ini tidak dapat dipungkiri.”
.
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu terasa hening. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui Dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.
#
DH : “Cobalah saudari introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah. Sebab secara medis, tidak mungkin seseorang yang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab-sebab tersebut (berganti-ganti pasangan seks -zina-).”
WS : “Tidak, Dokter. Selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at Islam. Saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter !.”
.
Dokter Hanung mengerenyitkan keningnya mendengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya, untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya. Dengan penuh kearifan Dokter itu bertanya lag.
#
DH : “Barangkali, apakah saudari biasa melakukan Kawin Mut’ah ... ?”
.
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
#
WS : “Ya, Dokter. Apa maksud pertanyaan Dokter ini ... ?”
DH : “Itukan artinya, anda sering berkali-kali mengganti pasangan seks secara bebas !.”
WS : “Loohh ..., tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok ... ?”
.
Pasien terakhir itu membela diri.
#
DH : “Ooo ... jadi begitu. Jika dari tadi saudari mengatakan begitu pada saya, saya tidak akan bersusah payah untuk mengungkapkan penyakit anda ini. Tegasnya, anda ini pengikut Syi’ah Rafidhah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat !!.”
WS : “Bagaimana dokter ini. Saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam, sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis.”
.
Sampai disini Dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat dan penuh tekanan.
#
DH : “Terserah apa kata saudari, untuk membela diri saudari. Silahkan Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko, anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu. Dan sangat boleh jadi, pada suatu nanti tingkat penyakit anda akan naik menjadi penyakit HIV-AIDS yang sangat mengerikan itu ... atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allaah 'azza wa jalla dari mengikuti ajaran bejat itu, jika anda menghendaki kesembuhan !!.”
WS : “Ma ... Ma ... Maaf Dok. Saya telah membuat dokter tersinggung.”
.
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
#
DH : “Begini saudari. Tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda, kalau toohhh anda tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan dari semua dokter yang akan anda datangi nantinya, pasti mereka akan bersikap sama dengan apa yang saya sampaikan kepada anda ini. Sebab itu, yaa terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep, kalau toohhh anda tidak mau berhenti !.”
WS : Ba ... Ba ... Baik Dok. In Syaa Allaah saya akan menghentikannya.”
.
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
#
WS : “Berapa Dok ... ?”
DH : “Tak usahlah. Saya sudah sangat bersyukur, jika anda benar-benar mau menghentikan cara hidup berperilaku binatang itu, dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja.”
.
Pasien terakhir Dokter Hanung ini, tersipu-sipu mendengar jawaban yang disampaikan Dokter Hanung.
#
WS : “Terimah kasih, Dok. Permisi.”
.
Perempuan itu melangkah satu per satu diantara peralatan-peralatan medis Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras, dekat bougenvill biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang ditelan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore hari itu.
WALLAAHU A'LAM
‪#‎SUMBER‬: Buku Mengapa Kita Menolak Syi’ah. Hal. 254-256.
‪#‎Dikutip‬ dari ASA edisi 5, 1411 H.
.
"Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi mereka sendirilah yang menganiaya diri-diri mereka." (QS. Az-Zukhruf : 43)
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar